(Foto: http://kejari-yogyakarta.go.id/) |
Memperingati Hari Pahlawan merupakan saat
yang tepat untuk mengevaluasi ulang pemahaman kita akan arti pahlawan. Jika
tidak, ia hanya akan menjadi seremoni tanpa makna, tak membuat perubahan apa
pun bagi negara. Dimana perlu dipahami peristiwa 10 November merupakan
peristiwa penting bagi bangsa Indonesia dimana pada waktu itu Indonesia yang
belum lama memproklamirkan kemerdekaan sedang gencar-gencarnya membangun
semangat kemerdekaan serta membangun legitimasi kedaulatan bangsa harus
terganggu karena kehadiran tentara Inggris (AFNEI) yang mengatasnamakan sekutu
kembali ke Indonesia untuk melucuti senjata tentara Jepang, disatusisi tentara Inggris
juga memiliki tujuan rahasia untuk mengembalikan Indonesia kepada pemerintah
Belanda (NICA) sebagai jajahannya kembali. Hal ini sudah terbaca sebenarnya
oleh arek-arek Suroboyo sehinggamemunculkan reaksi keras dimana pada saat itu
hotel Yamato yang dihuni pasukan Inggris dan Belanda masih mengibarkan bendera
Belanda sehingga memunculkan aksi heroik arek surabaya untuk menembus Hotel
memaksa menurunkan bendera Belanda yang sedang berkibar yang berwarna merah,
putih, biru dirobek dan disisakan merah putih lalu dikibarkan kembali sebagai
wujud kedaulatan bangsa Indoesia yang telah meraih kemerdekaan. Kecaman
terhadap sekutu begitu keras hingga pertempuran fisik tak dapat terelakan
puncaknya pimpinan Sekutu AWS Mallaby dalam perjalanan tewas tertembak sehingga
menyulut emosi Inggris yang merupakan Sekutu sehingga menyulut emosi yang
berujung pada pertempuran sengit. Pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya
peristiwa ini menelan banyak korban sehingga tanggal 10 November diperingati
sebagai Hari Pahlawan (sumber: wikipedia).
Seiring
berjalannya waktu peristiwa 10 November yang kita kenal sebagai Hari Pahlawan
tak ubahnya sebagai sebuah seremoni belaka, sejarah dan makna serta semangat
dari hari pahlawan mulai dilupakan. Tanggung
jawab itu seolah dibebankan semuanya di dunia pendidikan. Minimnya kreatifitas
dalam mengajarkan nilai-nilai kepahlawanan seolah menjadi titik nadir dalam
perjalanan bangsa ini. Rasa kepedulian
yang sangat kecil dari kelompok masyarakat seolah menjadi jawaban bahwa tidak
ada keuntungan baik moril maupun materil jika mengenal para pahlawan. Pahlawan
hanya dijadikan alat untuk mendapatkan nilai dan menjadi dongeng pengantar
tidur. Sikap tidak merasa memiliki ini bisa jadi bukan melulu kesalahan
masyarakat, bisa jadi bukan kesalahan para pahlawan, semua itu berawal dari
system yang pada akhirnya membuat masyarakat kehilangan kebanggaannya terhadap
para pahlawan
Sadar tidak sadar bangsa ini sedang mengalami
sebuah penjajahan gaya baru dimana penjajahan ini tidak dalam bentuk kekerasan
fisik dan baku tembak namun terbentuk secara sistematis, terstruktur dan
masif. Kasap mata akan tetapi justru
penjajahan gaya baru ini sangat berbahaya dimana seluruh aspek baik ekonomi,
sosial, politik, budaya serta menghancurkan generasi muda bangsa ini hal ini
didukung pula dengan perkembangan teknologi serta perdagangan bebas efek dari
globalisasi cepat atau lambat negara ini tak ubahnya sebagai sebuah sekat. Kita
lihat saja kondisi bangsa ini dimana krisis mental, Narkoba, konflik agama,
pemecah belahan diseluruh sisi, krisis kepemimpinan, korupsi yang merajalela,
kasus asusila terhadap anak serta degradasi moral hilangnya rasa malu kita sebagai
bangsa timur tak ketinggalan tontonan ditelevisi tak lepas dari agenda setting
dipertunjukan khalayak masyarakat yang seharusnya dapat mendidik bangsa ini
tapi justru harus ikut berperan andil dalam proses perusakan generasi muda.
Sebagai generasi muda, kita harus mampu memberi makna baru
atas tonggak bersejarah kepahlawanan dengan mengisi kemerdekaan sesuai
perkembangan zaman. Menghadapi situasi seperti sekarang kita berharap muncul
banyak pahlawan dalam segala bidang kehidupan. Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan
pahlawan-pahlawan baru untuk mewujudkan kehidupan massa rakyat yang demokratis
secara politik, adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi, dan partisipatif
secara budaya.
Pengalaman-pengalaman besar harus dijemput bukan hanya melalui analisa
tapi juga karya-karya penting untuk menggugah kesadaran yang sudah lama
terlelap. Di dunia pemikiran kita bukan sekedar membutuhkan gagasan-gagasan
baru melainkan juga ‘alat baca’ yang berpihak atas massa rakyat yang tertindas.
Intelektual adalah bagian dari arus massa tertindas dan sebaiknya mengerti,
memahami, dan menyelami kehidupan mereka. Hal ini tak akan bisa dimengerti jika
mengetahui kehidupan hanya sebatas kegiatan-kegiatan pelatihan, workshop,
rapat, seminar, diskusi atau penelitian ‘pesanan’. Kegiatan itu hanya akan
meningkatkan pendapatan bukan pemahaman atas kenyataan sosial. Membuang
keyakinan lama mungkin jadi syarat utama menuju pada tugas serta mandat seorang
intelektual terpelajar.
PEMUDA, PAHLAWAN BARU
Sebuah keniscayaan memang apabila setiap
jaman akan melahirkan anak jamannya
masing-masing. Disinilah peran generasi muda tak pernah putus dari sejarah
bangsa ini. Jika kita menilik ke belakang, dulu kaum terpelajar yang memperoleh
kesempatan untuk menikmati pendidikan mempunyai satu cita-cita besar bagaimana
bangsa ini bisa merdeka dari belenggu penindasan kolonial. Mereka tidak hanya mempunyai gagasan besar tentang
perubahan, tidak hanya berhenti pada satu forum diskusi, tetapi ada satu
tindakan riil bagaimana melakukan proses transformasi nilai terhadap massa
rakyat yang tertindas. Jalan itupun mereka dapatkan dengan cara
mengorganisasikan diri.
Tugas kita saat ini adalah memberi makna baru
kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman. Saat
memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, rakyat telah mengorbankan
nyawanya. Kita wajib menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa mereka. Karena
itulah hari Pahlawan harus kita peringati dan refleksikan.
Namun, kepahlawanan tidak hanya berhenti di sana.
Dalam mengisi kemerdekaan pun kita dituntut untuk menjadi pahlawan. Bukankah
arti pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena keberanian dan
pengorbanannya dalam membela kebenaran? Bukankah makna pahlawan itu adalah
pejuang gagah berani? Bukankah makna kepahlawanan tak lain adalah perihal sifat
pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, dan kerelaan berkorban?
Saat negara sedang terancam dengan penjajahan gaya
baru, rakyat yang dijadikan sebagai objek penderitaan, perubahan hanya jadi
menu diskusi, saat itulah maka gerakan progresif kaum intelektual terpelajar menjadi satu
kebutuhan mendesak. Seorang terpelajar bukan semata-mata sosok yang mencintai
pengetahuan, tapi bagaimana dapat dan mampu memberikan gagasan-gagasan tentang
perubahan. Karena itulah, solusi-solusi baru dan tindakan konkrit untuk
perubahan sosial mutlak dibutuhkan. Maka dari itu Ben Anderson, lewat esai
panjang Immagined Communities, menulis: Selain runtuhnya kekuasaan universal
(gereja Katolik-Roma) dan kerajaan-kerajaan dinasti, berkembangnya penerbitan
dan percetakan yang memungkinkan tulisan para pemimpin pergerakan makin banyak
dibaca khalayak adalah elemen terpenting dari kelahiran nasionalisme. Semoga ini bisa menjadi permenungan kita
bersama sebagai pemuda yang memilik
tanggung jawab besar dalam proses pembangunan bangsa dalam merefleksikan
peringatan hari Pahlawan dan mengisi kemerdekaan ini lebih bermakna.
sumber: http://satelitnews.co/berita-hari-pahlawan-dan--tantangan-pemuda-.html